MISTERI DILAILA (2019) - REVIEWINSEKUY
News Update
Loading...

MISTERI DILAILA (2019)

Misteri Dilaila memperoleh hype sebagai film Malaysia pertama dengan dua versi yang dirilis di bioskop secara bersamaan. Tentu pertanyaan terbesar bagi penonton adalah, “Versi mana yang lebih unggul dan sebaiknya ditonton?”. Bagi saya tidak dua-duanya.

Masing-masing versi menyimpan perbedaan di thrid act, yang berjalan sekitar 15 menit (total durasi versi pertama 81 menit, versi kedua 82 menit) dan dibangun berdasarkan prinsip tunggal: Memberi twist sebanyak serta semengejutkan mungkin, meski logika mesti dibuang jauh. Bahkan, semakin Syafiq Yusof (Abang Long Fadil, KL Special Force)—selaku sutradara sekaligus penulis—berusaha membuat konklusinya mengagetkan, semakin bertambah lubang dalam alurnya.

Premis Misteri Dilaila sesungguhnya menarik. Meminjam formula thriller-misteri yang kemungkinan bakal mengingatkan pada karya-karya Alfred Hitchcock (ambiguitas identitas, elaborate scheme, dan lain-lain), kisahnya terjadi saat Jefri (Zul Ariffin) dan sang istri, Dilaila (Elizabeth Tan), mengunjungi villa warisan orang tua Dilaila—yang terlihat menawan berkat kerja memukau tim artistik. Berniat menghabiskan waktu bersama, pasca pertengkaran di malam hari, Jefri justru terbangun keesokan paginya untuk mendapati sang istri telah lenyap.

Dibantu Inspektur Azman yang diperankan Rosyam Nor melalui performa menghibur khususnya kala ia melemparkan beberapa celetukan bernada sarkasme menggelitik, Jefri memulai pencariannya. Tapi tak lama berselang, Imam setempat (Namron) datang bersama Dilaila, (berikutnya dipanggil “Dilaila II”) yang kabur ke kontrakannya setelah bertengkar dengan Jefri. Alih-alih lega, Jefri malah kebingungan, sebab sosok di hadapannya itu punya wajah berbeda dari Dilaila yang ia kenal.

Jefri bersikeras bahwa Dilaila II (Sasqia Dahuri) merupakan penipu, dan kita sebagai penonton pun tahu wajahnya berbeda. Tapi tiada satu pihak pun mempercayai Jefri, termasuk Inspektur Azman yang lama-lama menganggapnya gila. Pemicunya adalah ketidakmampuan Jefri membuktikan kepalsuan Dilaila II. Seisi villa tak memasang foto wajahnya, sementara telepon genggam Jefri ikut menghilang bersama istrinya. Berikutnya, Misteri Dilaila mengajak kita menebak, apakah Jefri memang kehilangan kewarasan atau justru korban rencana jahat terstruktur.

Zul Ariffin menjalankan tugasnya dengan cukup baik memerankan pria kebingungan lewat gaya akting menghibur. Seolah sang aktor sadar jika tidak sedang berada di tengah film serius dan memilih bersenang-senang menerapkan akting penuh letupan, walau naskah buatan Yusof gemar memaksanya berteriak dan merengek memohon pertolongan Inspektur Azman, yang lama-kelamaan terdengar menyebalkan. Pun Jefri kerap mengambil keputusan bodoh yang tambah menyudutkannya. Jefri mungkin jarang menonton horor, sehingga tak tahu salah satu “aturan” dasar: Jika menemukan suatu hal penting, apa pun yang terjadi, jangan meninggalkannya, atau hal itu bakal hilang.

Penyutradaraan Yusof membawa Misteri Dilaila bergerak solid berkat tempo dinamis penyokong kisah yang selalu meninggalkan tanda tanya. Alhasil, alurnya padat, bahkan tatkala di sela-sela misteri, unsur horor supranatural minim substansi dipaksakan masuk. Jump scare-nya, biarpun lagi-lagi dibungkus tata suara berlebihan, rupanya cukup efektif melahirkan efek kejut, didukung riasan untuk deretan hantu yang disturbing.

Sekarang mari membicarakan dua varian ending-nya. Saya menonton versi pertama dahulu, lalu mendapati betapa versi tersebut penuh lubang. Eksistensi elemen horornya dijelaskan secara bodoh, sedangkan penjabaran twist perihal identitas Dilaila II tampil menggelikan akibat mengandalkan sederet ketidaksengajaan dan variabel yang mustahil dikontrol agar bisa terjadi sedemikian rupa. Kejanggalan malah bertambah setelah fakta sesungguhnya diungkap.

Namun ketika saya merasa versi pertamanya buruk, versi keduanya menampilkan keburukan yang lebih memabukkan. Kejutannya makin konyol, demikian pula karakternya yang menggiring diri mereka sendiri ke dalam situasi rumit hanya untuk memperoleh hal sederhana. Saya berasumsi, Yusof menulis versi pertama dulu, kemudian memikirkan cara agar versi kedua jauh berbeda. Dia perlu meluangkan lebih banyak usaha memperbaiki konklusinya ketimbang sibuk menerapkan mask transition (transisi adegan memakai objek bergerak), walau harus diakui, gaya penyuntingan itu merupakan pilihan artistik menarik.

VERSI 1

VERSI 2

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
Welcome To Blog Review, Enjoy.
Done