MENUNGGU PAGI (2018) - REVIEWINSEKUY
News Update
Loading...

MENUNGGU PAGI (2018)

Musik elektronik, narkoba, kehidupan malam, alkohol, sampai pijat plus-plus. Menunggu Pagi punya semuanya. Berikan materinya pada sineas lain, besar kemungkinan filmnya bakal berakhir sebagai perayaan klise soal hedonisme, pemberontakan, atau apa pun yang meneriakkan “We’re young and free!”. Tapi di tangan sutradara sekaligus penulis naskah Teddy Soeriaatmadja (Banyu Biru, Ruma Maida, Lovely Man), Menunggu Pagi (secara mengejutkan) jadi perjalanan melintasi dunia malam dan hiruk pikuk gelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) yang terasa damai.

Karakter utamanya adalah Bayu (Arya Saloka) yang mengelola toko vinyl bersama dua sahabatnya, Kevin (Raka Hutchision) dan Adi (Bio One). Bayu menyukai musik dance, juga menikmati berkumpul bersama teman-temannya. Tapi dari perkataannya, ia tak menyukai tempat ramai. Itulah alasannya menolak ajakan Kevin datang ke DWP. Apalagi di waktu bersamaan, hati Bayu tengah terganjal akibat masalah dengan mantan kekasihnya (Putri Marino) yang masih dia cintai.

Merujuk pernyataan Kevin, Bayu merupakan “teman yang seru”, walau terkadang, dia enggan berkumpul dan memilih menghabiskan waktu sendirian. Bisa dipahami. Beberapa orang memang bisa menjadi sosok tergila, namun di kesempatan lain Cuma ingin diam menyendiri. Bayu demikian. Layaknya antitesis terhadap stereotip bagi para pemuda yang menikmati kehidupan malam sambil menari mengikuti alunan musik dance. Menunggu Pagi adalah kisah mengenai individu semacam itu. Bahwa dalam keliaran malam kota besar, tinggal pula manusia-manusia lembut yang merindukan cinta tulus ketimbang sekedar alat pemuas nafsu.

Kemudian hadir Sarah (Aurelie Moeremans), mantan Kevin yang jengah oleh sikap kekasihnya, Martin (Mario Lawalata). Martin berprofesi sebagai DJ, tapi juga seorang pengedar yang terlibat permasalahan dengan seorang bos kriminal (Yayu Unru) akibat melarikan narkoba miliknya. Sebagai kekasih, Martin begitu posesif, pernah menghajar pria hanya karena dia mengirim SMS kepada Sarah, padahal dirinya sendiri terlibat hubungan gelap. Sewaktu Sarah menangkap basah perselingkuhan Martin tepat di hari jadi mereka, ia pun merasa cukup.

Sewaktu Sarah mengunjungi toko vinyl untuk mengambil tiket DWP pemberian Kevin, pertemuan dengan Bayu pun terjadi. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya menjalin ikatan lewat mendengarkan musik berdua dalam situasi yang mengingatkan saya pada adegan “music booth” milik Before Sunrise (1995), yang kebetulan juga mengisahkan perjalanan dua sejoli menunggu datangnya pagi.

Sebelum pertemuan tersebut, Bayu sempat menanyakan alasan Kevin mengakhiri hubungannya dengan Sarah. Kevin tidak memberi jawaban gamblang, melainkan bicara soal 2 jenis wanita: mereka yang dari luar nampak liar tapi buruk di ranjang, dan mereka yang terlihat polos tapi liar dalam urusan seks. Mengingat Kevin digambarkan sebagai pemuda yang haus akan seks, kita tahu Sarah termasuk kategori mana menurut Kevin. Itu membuat ketertarikan Sarah dan Bayu masuk akal. Mereka merindukan sentuhan rasa di tengah lingkaran manusia yang memuja sentuhan fisik. Sarah mengajak Bayu datang ke DWP bersamanya. Bayu setuju, sebab sebelumnya ia memberi persyaratan pada Kevin, bahwa ia bersedia hadir andai mendapat pengalaman baru. Ini adalah pengalaman baru. Tepatnya cinta baru. Tapi Bayu bakal mendapatkan lebih.

Teddy menjadikan kehidupan malam selaku panggung di mana hal-hal gila dapat terjadi. Tidak ada satu konflik besar berkelanjutan ketika Teddy membawa penonton dalam perjalanan satu malam yang melibatkan perkelahian di kelab, kejar-kejaran mobil, teler akibat pengaruh halusinogen yang di satu titik menciptakan momen terlucu sepanjang film, dan lain-lain, meski akhirnya, hal tergila yang karakternya alami adalah menemukan cinta. They found love in a hopeless place and situation.

Hubungan Bayu-Sarah meski memiliki pondasi kuat, sayangnya minim waktu sekaligus kesempatan guna dikembangkan secara meyakinkan. Beruntung jajaran pemain sanggup meniupkan nyawa. Mayoritas dari mereka belum tampil dalam kapasitas luar biasa, namun cocok memerankan tokoh masing-masing. Aurelie seperti biasa merupakan api dalam film yang ia lakoni, sedangkan Arya Saloka ibarat angin lembut yang membuat nyala api itu semakin besar. Mario tepat sebagai pria putus asa yang meledak-ledak, begitu pula Bio One yang harus memasang ekspresi teler nyaris sepanjang durasi. Tapi penampil terbaik adalah Yayu Unru. Cukup lewat 2 adegan, sang aktor senior mampu menebar ngeri sebagai bandar narkoba intimidatif.

Sekali lagi Teddy memamerkan penyutradaraan solid, dengan alur yang mengalir mulus, ditambah kapasitas menangani adegan-adegan dengan tingkat kesulitan tinggi, seperti kejar-kejaran mobil dan konser. Bukan kebut-kebutan pemacu adrenalin, tapi mengingat Menunggu Pagi bukan suguhan aksi, menghindari kesan canggung saja sudah sebuah prestasi. Puncak pencapaian teknisnya tatkala DWP berlangsung. Teddy, dibantu penyuntingan cermat Eric Kurniawan Primasetio, mixing suara menawan, serta pengambilan gambar cerdik dari Robie Taswin (Filosofi Kopi, Bukaan 8), berhasil mereka ulang kemeriahan festival itu. Kombinasi rekaman asli dari pihak DWP dengan buatan tim film ini (yang menampilkan para aktor) bersatu padu. Wajar apabila anda sempat mengira seluruhnya diambil langsung di lokasi.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
Welcome To Blog Review, Enjoy.
Done