PROMISE (2017) - REVIEWINSEKUY
News Update
Loading...

PROMISE (2017)

Film-film produksi Screenplay Films itu penting bagi industri perfilman tanah air. Walau sering dicap berkualitas sinetron, judul-judul macam "London Love Story" dan "ILY from 38.000 Ft" sanggup meraih jutaan penonton bahkan bukan mustahil memperkenalkan kultur menonton bioskop kepada target pasarnya (pemirsa televisi). Lambat laun mereka bakal melirik film lain, menjalani proses "belajar film". Tapi "Promise" adalah kasus spesial di mana para pembuatnya berambisi mengusung kisah dewasa dan bangunan alur rumit, menerapkannya di formula FTV dangkal yang mana tidak selaras hingga gagal bekerja.

Kisahnya dibuka melalui pengenalan sepasang sahabat, Rahman (Dimas Anggara) dan Aji (Boy William). Rahman merupakan remaja polos anak pemuka agama (Surya Saputra). Didikan kolot sang ayah membuatnya malu berinteraksi pula enggan menatap mata wanita dengan alasan menghormati. Tapi kenapa tato Dimas Anggara beberapa kali terlihat? Sebegitu malaskah departemen make-up film ini? Tidakkah sutradara Asep Kusdinar menyadari itu? Come on, menonton porno saja Rahman tidak berani, apalagi membuat tato. Sebaliknya, Aji adalah playboy, anak gaul yang bicara sok asyik, menggulung lengan dan membuka kancing seragamnya. Come on, anak gaul tak lagi berpenampilan begitu termasuk di Jogja yang menjadi setting.

Kenapa Jogja dipilih tak pernah jelas kecuali penegasan protagonisnya adalah pria kampung nan polos pula lurus. Really? Para penulisnya pasti tidak memahami Jogja. Rahman pun hanya sesekali memakai logat Jawa (bukan bahasa Jawa) dan pelafalan Dimas Anggara terdengar menggelikan. Singkat cerita, akibat ketahuan menyimpan film porno pemberian Aji, Rahman diharuskan menikah oleh ayahnya. Ada potensi menggugat konsep perjodohan dan pemikiran kolot bersenjatakan agama, tapi Sukhdev Singh dan Tisa TS selaku penulis naskah urung bereksplorasi, membiarkannya tertinggal sebagai hiasan nihil substansi. Lalu dengan siapa Rahman dijodohkan? Di sini alur "Promise" bererak makin ambisius, memakai gaya non-linier. 
Kisahnya langsung melompat beberapa waktu ke depan, ketika Rahman berkuliah di Milan, bertemu Moza (Mikha Tambayong) yang diam-diam jatuh cinta padanya. Hadir pula Ricky Cuaca sebagai comic relief tak lucu yang tampil hanya untuk bertingkah norak dan menyebalkan. Total screentime-nya tak sampai 10 menit termasuk adegan Ricky marah-marah di tempat umum karena menabrak tiang. Come on, this is Milan for fuck sake! Rahman sendiri rupanya tengah mencari sang istri yang identitas serta alasan kepergiannya belum terungkap. Sampai ia bertemu Aji yang kini menjadi fotografer sukses dan berpacaran dengan model bernama Kanya (Amanda Rawles).

Lupakan fakta jika sebelumnya Rahman dan Aji tak pernah diperlihatkan tertarik akan bidang yang mereka geluti di Milan, karena toh jalan hidup manusia siapa yang tahu. Anda bisa mendadak ingin menjadi politikus saat kuliah walau di SMA bercita-cita sebagai aktivis. God only knows. Mari fokus pada pilihan alur non-linier saja. Apakah pemakaian gaya tersebut penting? Tentu tidak. Sama tidak pentingnya dengan pertanyaan "Kucing jatuh dari pohon apanya dulu?" yang jawaban serta konteksnya teramat menggelikan. Pemakaian alur non-linier tak lebih dari bentuk kemalasan menghadirkan kejutan yang bahkan sama sekali tak mengejutkan.
"Promise" justru tersesat di kerumitan kisah yang dibangun. Alurnya asal melompat, begitu berantakan tanpa disertai alasan jelas mengapa dari titik A ceritanya perlu melompat ke titik D, kemudian kembali ke B, dan seterusnya. Film ini tidak memerlukan kejutan, cukup nuansa romantis. Masalahnya, lompatan alur memaksa paparan hubungan Rahman dan cinta sejatinya ditempatkan di tengah menjelang akhir. Penonton dipaksa tersentuh oleh percintaan yang belum sempat disaksikan. Andai usaha memunculkan kejutan yang tidak perlu ini ditiadakan, bukan mustahil filmnya mampu sedikit mempermainkan emosi. 

Bila ada faktor penyelamat, itu terletak pada beberapa shot memikat mata lengkap disertai warna-warna cerah. Jangan lupakan pula Mikha Tambayong yang sama memikatnya bagi mata. Mengenakan busana yang ditata apik oleh Aldie Harra, walau akting Mikha masih belum layak disebut realistis (sinetron-ish), penonton pria pastinya bakal terhibur oleh gerak-gerik termasuk tariannya sewaktu clubbingAm I being sexist right now? Entahlah, tapi ketika filmnya menempatkan sang aktris selaku eye candy semata yang karakternya tak menyimpan signifikansi, saya bisa apa? 

Setiap tingkah dan keputusan karakter sulit diterima akal sehat. Di produksi Screenplay lain saya dapat menerima perilaku tak logis yang sengaja dibuat demi memuaskan hasrat penonton atas konsep cinta sejati. Kali ini kebodohan mereka sudah keterlaluan, terlampau dipaksakan demi menggerakkan alur atau menambah konflik. Dosis kalimat puitis pun bertambah dan makin menggelikan semisal "Kamu seterang lampu di luar sana" (lampu mana mbak? Berarti kalau mati listrik Rahman tidak lagi terang?). Selipan unsur pernikahan, perjodohan, dan religiusitas tak membuat "Promise"  lebih dewasa sebab semuanya sekedar tempelan yang bila dihilangkan pun tak jadi masalah. Untuk apa pula memaksakan tampil (sok) pintar dengan alur acak dalam suguhan semacam ini? Seolah belum cukup, menjelang akhir filmnya masih menyelipkan unsur penyakit secara mendadak, menambah satu lagi hal tak perlu di tengah ambisi besar yang berujung kehancuran. Ungkapan "less is more" nampaknya patut diresapi Screenplay Films.

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
Welcome To Blog Review, Enjoy.
Done